Rabu, 21 Maret 2012

Kisah Hidup da Vinci, Galileo, dan John Nash

Selain Isaac Newton karya James Gleick, buku biografi ilmuwan mana yang menarik? Banyak. Beberapa di antaranya ialah biografi Leonardo da Vinci, Galileo Galilei, John Nash, Stephen Hawking, Richard Feynman, Charles Darwin, dan Albert Einstein. Saya rasa masih banyak lagi, tapi itulah beberapa nama yang pengisahannya begitu menawan.

Sains Leonardo (Jalasutra, 2010) mengisahkan kehidupan Leonardo da Vinci, seorang jenius asal Florence, Italia. Fritjof Capra, fisikawan yang menulis buku ini, sanggup menyalakan api hidup dan kehebatan karya tokoh Renainsans Eropa ini.

Orang mungkin lebih mengenal Leonardo sebagai pelukis—siapa yang tak pernah mendengar Monalisa? Tapi lelaki ini punya sisi lain yang jarang diungkap. Walaupun ia meninggalkan buku-buku catatan tebal dan penuh diskripsi rinci tentang eksperimen-eksperimennya, gambar-gambar cemerlang, dan analisis mendalam atas temuan-temuannya, namun hanya ada sedikit buku tentang sains Leonardo.

Sebagai ilmuwan dan insinyur, Leonardo memiliki keunikan yang tiada tara. Kehebatan visualnya yang selalu dipujikan telah membedakannya dari ilmuwan dan insinyur yang lain. Studinya mengenai anatomi lengan memperlihatkan gambar tangan yang detail, halus, dan dilengkapi dengan catatan-catatan mengenai fungsi-fungsi bagian lengan itu. Begitu pun ketika ia mempelajari pembuluh darah.

Pendekatan Leonardo terhadap pengetahuan ilmiah bersifat visual, pendekatan seorang pelukis. "Lukisan," kata Leonardo, "merangkum dalam dirinya seluruh wujud alam semesta." Bagi Leonardo, lukisan adalah seni sekaligus sains.

Lewat studinya yang cermat, Capra menunjukkan bahwa dengan bangkitnya pemikiran sistemik yang menekankan pada jaringan, kompleksitas, dan pola-pola organisasi, kita dapat lebih mengapresiasi kekuatan sains Leonardo dan relevansinya dengan dunia modern kita. Capra memperkaya kisah hidup pria flamboyan dari Florence ini dengan balutan pertikaian kekuasaan, intrik-intrik istana, persaingan di kalangan seniman dan ilmuwan, dan menyajikannya dengan jernih dan memukau.

Masih tentang ilmuwan dari abad pertengahan, karya Dava Sobel tak kalah menariknya. Melalui risetnya yang ekstensif atas surat-surat yang ditulis oleh Maria Celeste, Sobel menggambarkan ketegangan batin yang dialami oleh Galileo Galilei. Celeste adalah putri Galileo yang selalu memompakan semangat hidup bagi ayahnya.

Sang Putri Galileo (Mizan, 2004) mengisahkan dengan begitu haru hubungan antara ayah dan anak perempuannya, yang memilih jadi biarawati, serta ketegangan antara iman dan kebenaran ilmiah di awal perkembangan sains modern. Di dunia sains, nama Galileo ditulis dengan tinta emas karena metoda eksperimennya, sementara pemuka Gereja menghukum Galileo karena pandangan heliosentrisnya.

Galileo bekerja keras menunjukkan bahwa alam semesta yang berpusat pada Matahari merupakan gagasan lama, merujuk kembali ke zaman Pythagoras pada abad ke-6 SM, hingga berabad-abad kemudian dinyatakan kembali oleh Copernicus. "Usaha untuk menyembunyikannya hanya akan membuatnya tersingkap makin jelas dan terang," tulis Galileo.

Dalam latar pertarungan gagasan, intrik politik, juga pengaruh kuat Gereja, Sobel menampilkan gambaran Galileo sebagai seorang ayah. Surat-surat Maria Celeste, agaknya, menjadi obat yang menghibur dan menguatkan hatinya di tengah pertarungan yang tidak seimbang itu.

A Beautiful Mind (Gramedia, 2005) merupakan karya biografi lain yang sayang untuk dilewatkan. Sylvia Nasar memulai ceritanya yang panjang mengenai John Nash dengan memotret sebuah adegan. "Nash teronggok dalam sebuah kursi berlengan di salah satu sudut ruang tunggu rumah sakit, mengenakan kemeja nilon yang tidak rapi dan asal menggantung pada tubuhnya di atas celana yang tak berikat pinggang…," tulis Nasar.

George Mackey, tamu yang mengunjungi John Nash, adalah profesor di Universitas Harvard dan kawan lama Nash. Lama menunggu di depan Nash tanpa sepatah katapun terucap membuat Mackey mulai kesal. "Bagaimana mungkin," ujarnya, "bagaimana mungkin Anda, orang matematika, yang berkomitmen terhadap akal sehat dan bukti-bukti bernalar.. bagaimana mungkin Anda percaya bahwa makhluk luar angkasa telah mengirim pesan kepada Anda?"

John Nash bukan tengah dirawat karena sakit jantung, melainkan karena didiagnosis menderita skizofrenia. Di usia 31 tahun, tatkala sedang berada di puncak kariernya sebagai matematikawan dan belum lama menikah, John terperangkap di dalam khayal-khayal yang menyiksa. Berulang kali ia harus meringkuk di balik tembok rumah sakit jiwa.

Selama tiga puluh John menjadi sosok yang asing dan sesekali muncul bak hantu di kampus Princeton University. Selama itulah, John tenggelam dalam kehidupan yang dituturkan kembali oleh Sylvia dengan amat menyentuh. Hingga kemudian, di masa tuanya, keajaiban terjadi: John sembuh dan meraih Hadiah Nobel untuk sumbangannya yang cemerlang tentang teori permainan. Russel Crowe memerankan karakter John Nash dengan bagus dalam film yang diangkat dari karya Sylvia Nasar ini.

Ketiga buku biografi ini sangat inspiratif dan membagikan pengalaman yang luar biasa ihwal bagaimana menjalani kehidupan.

(tempo.co)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar