Rabu, 18 April 2012

Alat Akustik Usir Burung dari Bandara


Flightstory Bird Strike

Populasi burung di bandara, bila tak dikelola, bisa menjadi ancaman bagi keselamatan. Pesawat yang lepas landas atau mendarat bisa menabrak burung yang terbang (bird strike) sehingga membahayakan.

Kejadian bird strike sering terjadi di mana pun. Di Indonesia, bird strike pernah menyebabkan keterlambatan kedatangan jemaah haji kloter 3 Balikpapan pada 6 Oktober 2011. Burung masuk ke mesin pesawat dan menyebabkan baling-baling bengkok.

Peristiwa yang sama pernah terjadi pada penerbangan Sriwijaya Air di Bandar Lampung. Burung juga masuk ke mesin. Keberangkatan dibatalkan dan pesawat terpaksa kembali lagi ke bandara. Banyak penumpang membatalkan keberangkatan.

Burung yang masuk ke pesawat, jika dibiarkan, bisa merusak mesin, mengakibatkan mesin macet bahkan meledak. Jika demikian, bird strike bukan cuma mengancam mesin pesawat, tetapi juga mengancam jiwa manusia.

Untuk menanggulangi masalah tersebut, Husein Avicenna Akil dari Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi (KIM) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan alat akustik pengusir burung.

"Prinsipnya, alat ini mengusir burung dengan suara yang sesuai sensitivitas burung," ungkap Husein yang pada Rabu (18/4/2012) di Jakarta dilantik menjadi guru besar riset bidang metrologi dan instrumentasi.

Husein mengatakan bahwa permasalahan bird strike saat ini salah satunya dipicu oleh frekuensi suara pesawat yang tak dalam rentang sensitifitas burung. Ferekuensi yang bisa diengar burung ada;ah 100-29.000 Hz. Frekuensi pesawat yang sebesar 20-200 Hz dianggap pelan oleh burung.

Alat akustik yang diciptakan Husein dan rekannya bertujuan menghasilkan suara yang ada pada rentang sensitifitas burung. Dengan demikian, burung akan merasa kesakitan pendengarannya dan pergi.

Dalam proses pengembangan alat, Husein mengukur terlebih dahulu frekuensi sensitif burung. Ia mengukur frekuensi suara beberapa jenis burung yang biasa didapatkan di bandara seperti kuntul kerbau, kuntul besar dan cangak abu.

Cara pengukuran sensitifitas suara burung adalah mengukur frekuensi suara yang dihasilkan burung. Dasarnya, frekuensi suara bisa diterima burung lain yang artinya mampu memberikan rangsangan bagi burung.

Berdasarkan penelitian, peak spektrum suara yang terukur ada pada ferekuensi 3,15 KHz sementara sebagian burung memiliki peak spektrum suara 5 KHz. Maka, alat akustik yang dikembangkan pun memproduksi suara pada frekuensi tersebut.

"Alat ini sudah diterapkan di bandara Soekarno Hatta dan Juanda, yang akan datang adalah di Ngurah Rai," kata Husein. Studi sendiri sebelumnya dilakukan di ketiga bandara tersebut ditambah bandara Polonia Medan dan Sultan Hasanuddin Makassar.

Alat yang dibuat ada dua macam, statis dan mobile. Alat statis dipasang di lokasi tertentu setiap jarak 200 meter. Efektivitas alat sendiri sejauh 100 meter. Sementara, alat mobile dipasang di mobil.

Menurut Husein, alat yang dipasang lebih efektif dari alat serupa buatan luar negeri yang menghasilkan suara predator. Pasalnya, pada produk luar negeri, burung bisa belajar mengenali bahwa suara yang dihasilkan adalah suara buatan.

Husein menuturkan, setiap bandara di Indonesia sebaiknya memiliki alat serupa untuk mengusir burung dengan lebih efektif dan mencegah bird strike. Namun demikian, solusi pascapengusiran burung juga harus diperhatikan.

"Pasca pengusiran itu, burung harus dikirim ke tempat bersarang yang baik. Harus ada tempat yang nyaman bagi burung di sekitar bandara, tempat burung mendapatkan makanan dan sarang," papar Husein yang menyelesaikan studi doktoralnya di Kyoto University.

Bandara di luar negeri, seperti Changi di Singapura, sudah memiliki kawasan penangkaran burung di sekitar bandara. Sementara, menurut Husein, belum ada bandara di Indonesia yang memilikinya.

Pengembangan kawasan penangkaran burung di sekitar bandara selain menjadi habitat bagi burung juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat wisata.

(kompas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar